Nasehat Imam
Syafi'i Kepada Penuntut Ilmu
Inilah nasehat Imam Syafi'i rahimahullah kepada para penuntut ilmu.
Inilah nasehat yang dulu dipegangi dengan kuat dan mengantarkan banyak orang
meraih manfaat menuntut ilmu. Mari sejenak kita perhatikan:
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَاٍ بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ
وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان
"Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam
perkara yang akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat,
(3) bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan keluarkan uang), (5) bersahabat
dengan ustadz, (6) memerlukan waktu yang lama.”
Inilah sikap mental yang seharusnya kita tanamkan kepada anak didik
kita. Siap berpayah-payah, semangat bertekun-tekun belajar.
Sesungguhnya yang dimaksud dirham bukanlah banyaknya harta, tetapi
terutama kesediaan/kerelaan hati mengeluarkan uang untuk meraih ilmu. Berpijak
pada nasehat yang ditanamkan di awal belajar, lapar itu lebih disukai santri
asalkan dapat membeli buku. Sikap ini saya pegang saat kuliah. Bukan untuk
nyentrik jika kuliah pakai kresek (kantong plastik belanja). Tapi karena buku
lebih utama.
Teringat kawan-kawan masa kecil yang cemerlang. Mereka justru akrab
dengan rasa lapar. Tetapi mereka amat bersemangat. Lapar kerap jadi pilihan
karena mendahulukan ilmu dan mereka justru menjadi cemerlang justru karena itu.
Perhatian hanya tertuju pada belajar. Tidak disibukkan oleh urusan makanan.
Maka sulit saya memahami penjelasan "sebagian ahli": tidak sarapan
sulitkan belajar
Bersahabat dengan Ustadz bukan karena mengharap nilai yang bagus,
tapi untuk meraup ilmu yang barakah dan berlimpah. Dulu kesempatan memijat
ustadz merupakan kesempatan penuh manfaat. Memijat merupakan kesempatan
mendengar limpahan nasehat ustadz. Ini bukanlah soal joyful learning. Justru
ini soal kesediaan berpayah-payah demi meraih ilmu yang lebih utama. Ada
semangat di sana.
Bersahabat dengan ustadz bahkan tak hanya terkait kesempatan meraup
kesempatan lebih banyak untuk memperoleh curahan ilmu darinya. Lebih dari itu
adalah ikatan jiwa antara murid dan guru. Teringat, ketika guru sakit, sedih
sekali perasaan ini & bersegera mendo'akan. Ikatan semacam ini menjadikan
kehadiran guru senantiasa dinanti dan tutur katanya didengarkan sepenuh hati.
Inilah bekal amat berharga.
Ketika murid benar-benar memiliki keterikatan hati dengan guru, cara
mengajar yang monoton pun tetap membangkitkan antusiasme. Sebaliknya, ketika
guru semata hanya mengandalkan metode mengajar, cara yang atraktif pun tak
jarang hanya memikat sesaat di kelas. Murid betah mendengarnya karena menarik
dan lucu, tapi tak menumbuhkan antusiasme untuk belajar lebih serius di luar
kelas. Apalagi jika salah memahami istilah belajar tuntas sehingga seakan tak
perlu lagi belajar setiba di rumah, bahkan hingga tertidur pulas di malam hari.
Padahal antusiasnya anak belajar sepulang sekolah merupakan salah satu tanda
belajar otentik. Jika kita sangat meminati sesuatu, sakit pun tak menghalangi
untuk menekuninya.
Maka membekali murid dengan menumbuhkan sikap percaya kepada guru,
hormat serta ikatan emosi dengan guru amat mendesak dilakukan. Dalam hal ini,
kita dapat membincang dari kacamata efektivitas pembelajaran. Tapi saya lebih
suka melihat dari segi kebarakahan belajar. Masalah "barakah" memang
terasa makin asing dalam pembicaraan tentang pendidikan, hatta itu sekolah
Islam. Padahal ini sangat penting.
Prinsip lain yang dinasehatkan oleh Imam Syafi'i rahimahullah bagi
penuntut ilmu adalah طُوْلُ زَمَان
(memerlukan waktu lama). Seorang santri (murid) harus menyiapkan diri
menghabiskan waktu yang panjang untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap
ilmu.
Jauhi sikap instant dan tergesa-gesa (isti'jal) ingin menguasai ilmu
dengan segera. Penghambat tafaqquh (upaya memahami secara sangat mendalam)
adalah sikap tergesa-gesa. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cepat, tetapi
pemahaman yang matang dan mendalam hanya dapat diraih dengan kesabaran dan
kesungguhan. Grabbing informations dapat dicapai dengan speed reading. Tetapi
untuk pemahaman mendalam, yang diperlukan adalah deep reading.
Kesediaan mencurahkan perhatian dan menempuh proses yang lama
merupakan kunci untuk meraih keutamaan-keutamaan ilmu yang sangat tinggi.
Banyak hal yang dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi untuk menghasilkan
penguasaan yang matang kerap memerlukan waktu panjang. Meski demikian, sekedar
siap menjalani masa yang panjang tidak banyak bermakna apabila tidak disertai
ketekunan. Ada kesabaran, ada ketekunan.
Sebagian ilmu menuntut ketekunan untuk masa yang panjang. Keduanya
diperlukan. Ini memerlukan daya tahan yang tinggi. Ada orang yang cerdas
sehingga mudah memahami. Tapi ada sebagian ilmu yang menuntut ketekunan, masa
yang panjang dan sekaligus kecerdasan. Dalam bidang sains pun sabar, tekun dan
cerdas diperlukan secara bersamaan. Semisal untuk bidang yang memerlukan
observasi longitudinal.
Jika ada guru yang bertanya, apa bekal penting bagi seorang murid,
maka nasehat Imam Syafi'i rahimahullah ini yang seharusnya ditanamkan kuat-kuat.
Ditanamkan kuat-kuat hingga membekas. Bukan sekedar menjadi pengetahuan
sekilas. Semoga ini dapat membentuk sikap belajar yang kuat dan mantap.
Jika adab tertanam kuat dan sikap belajar mengakar dalam diri murid,
maka guru yang monoton pun akan didengar sepenuh perhatian. Lebih-lebih guru
yang bagus kemampuannya mengajar. Tetapi sekedar pintar mengajar, tak bermakna
jika murid lemah adabnya buruk sikapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar